Jumat, 25 Maret 2011

Re: Kebaya Encim dan Sarung Nyonya

ER:
Kata encim berasal dari Julukan atau panggilan Wanita yang sudah bekerluarga
atau wanita usia paruh baya dari suku tionghoa. Kata "encim" sebenarnya tidak
ada dalam kamus Mandarin Tionghoa, Pangilan "encim" sebenarnya akulturasi bahasa
Hokkian untuk" Cici" atau kakak perempuan. Dan bahasa lokal betawi. Sehingga
kita mengenal ada kalimat betawi seperti "Engkong" yang berasal dari " Akung"
dalam bahasa mandarin untuk memanggil kakek. Pangilan "Encim" pada tempo dulu
adalah panggilan terhormat untuk memangil seseorang yang dituakan. Lain halnya
jaman sekarang Jika ada wanita paruh baya atau sudah menikah dari keturunan
tionghoa dipanggil "Encim" pasti marah, mengira penghinaan pada dirinya.
Padahal tempo dulu pangilan "Encim" adalah pangilan terhormat.


DK:

Encim bukan “julukan atau panggilan wanita yang sudah berkerluarga atau wanita
usia paruh baya dari suku tionghoa�, tapi artinya sama saja dengan Bibi
(Melayu, Sunda), Bulik (Jawa), Tante (Belanda), Aunty (Inggris), atau Sukme
å�"姆 (Hakka), Shenshen 嬸嬸 (Mandarin). Artinya, “istri adik laki-laki
ayah (Encek)�. Demikianlah Encing (Betawi) disinyalir berasal dari kata Encim
ini. Kata Encim berasal dari kata Hokkian (Selatan) Ng-cim å'‰å¬¸, bukan
Mandarin, maka tidak akan ada dalam kamus Mandarin.
Awalnya panggilan Encim ini dipakai untuk menyapa wanita paruh baya yang usianya
sebaya dengan istri adik laki-laki ayah (Encek) seseorang, namun lambat-laun
hanya dipakai untuk wanita yang sudah lanjut, sehingga banyak orang merasa
alergi dipanggil Encim, maunya Tante, karena beranggapan Encim adalah wanita
yang sudah nene-nene. Demikian pula banyak orang yang tidak suka dipanggil
Encek, maunya Oom.
Engkong berasal dari Ng-kong å'‰å…¬ (Hokkian Selatan) yang sama saja artinya
dengan Akung 阿公 (Hakka), Yeye 爺爺 (Mandarin).
Istilah Encim yang dilekatkan kepada kebaya Tionghoa peranakan bukan berasal
dari nama kebaya itu sendiri, tapi nama yang dilekatkan oleh para disainer pada
1970-an, karena melihat yang masih setia mengenakan kebaya itu tinggal wanita
tua alias Encim-encim tadi. Padahal nama kebaya ini sebenarnya KEBAYA NYONYA,
dengan padanannya SARUNG NYONYA, bukan kebaya Tante (Encim kan = Tante???).

ER:

Fungsi batik peranakan pesisir ini, bukan hanya digunakan sebagai busana,
seperti kebaya saja atau upacara adat saja, melainkan juga digunakan sebagai
alas meja sembahyang atau disebut Tokwi pada masyarakat Tionghoa peranakan.

DK:

Toq-ui (Tokwi) 桌� bukan “alas meja sembahyang�, tapi “penutup bagian
muka meja sembahyang, di antara kedua kakinya. Toq-ui biasanya tersulam indah.
Istilah Toq-ui berlaku umum, bukan hanya di Tionghoa Peranakan.

ER:

Pada kalimat "Sarung nyonya" Adalah dari kalimat nyonya adalah kalimat wanita
yang paruh baya atau sudah menikah yang berasal dari Bahasa belanda. Pada
lingkungan tionghoa peranakan ada yang dikenal istilah "BABAH dan NYONYA".
Istilah ini sebenarnya tak hanya digunakan di Indonesia sendiri tetapi malaysia,
dan singapura, kalimat "BABAH dan NYONYA ",penjelasannya adalah untuk memanggil
kaum pria keturunan tionghoa dengan kalimat "BABAH" yang sudah menikah atau usia
paruh baya. "Nyonya" Pangilan Wanita pada jaman Belanda untuk pangilan wanita
bangsawan yang sudah menikah atau paruh baya.

DK:

Istilah NYONYA bukan berasal dari bahasa Belanda, tapi dari Hokkian (Selatan)
Nio-a 娘ä»". Istilah ini dipakai kepada wanita Tionghoa yang terhormat, menjadi
panggilan khas Tionghoa Peranakan. Itulah sebabnya istilah ini dikenal juga di
Singapura dan Malaysia. BABA adalah panggilan kepada laki-laki Tionghoa
Peranakan, kira-kira artinya setara dengan BAPAK. Orang Betawi memanggil ayahnya
BABA, atau berubah jadi BABAH atau BABE di beberapa daerah tertentu.

Kiongchiu,

DK

--- In
budaya_tionghua@yahoogroups.com, "east_road" wrote:

Kebaya Encim dan sarung nyonya


Kebaya Encim dan Sarung Nyonya jarang pernah didengar oleh Generasi muda
sekarang terutama Generasi muda tionghoa. Ketika Batik dicanangkan sebagai
budaya aset nasional dan berbondong - bondong orang memakai batik. Dan merebut
budaya batik dari pengakuan dan pengklaiman dari negara lain.

Terlupakan dan tidak terlintas dalam pemikiran kita bahwa ada Suatu Budaya

kultur nasional yang sangat penting yaitu kebaya encim. Batik, Kain songket, Dan
kebaya Encim dan sarung nyonya adalah hasil budaya Alkurturasi Budaya Jawa,
Sumatra, Belanda dan Tionghoa.
Terlintas bahwa mengapa batik itu dapat ditemui di negeri Tiongkok, malaysia,
singapura dan sebagainya. Dikarenakan bahwa sebenarnya asal mula motif mendasar
pakaian batik berasal dari negeri Tiongkok.

Pada awalnya sejarah batik adalah Dari kain motif bunga berwarna pada pakaian

wanita di negeri tiongkok. Kemudian dibawa ke Tanah jawa oleh Saudagar negeri
tiongkok, pada awalnya Kain ini dipersembahkan kepada Penguasa Kerajaan
Majapahit.

Dan kemudian Melihat corak pakaiannya begitu indah, maka diperkenalkan kepada

masyrakat majapahit untuk mulai membuat garis motik dari simbol-simbol tanah
jawa sehingga munculah kain bernama Batik. Batik dan Kebaya encim dan sarung
nyonya ada perbandingan dasar dari cara pemakai dan jenis kelaminnya. Batik
dikhususkan untuk pria, lain halnya pada jaman sekarang Batik dapat digunakan
oleh pria maupun wanita dan bahkan menjadi accesories seperti tas, dompet
wanita, kipas, dan sebagainya, untuk kebaya sendiri untuk wanita.
Yang saya bahas bukanlah batik, Tapi kebaya Encim dan sarung nyonya banyak
masyarakat Indonesia melupakan kain ini, kenapa kok di beri nama kebaya encim
dan Sarung Nyonya.

Kata encim berasal dari Julukan atau panggilan Wanita yang sudah bekerluarga

atau wanita usia paruh baya dari suku tionghoa. Kata "encim" sebenarnya tidak
ada dalam kamus Mandarin Tionghoa, Pangilan "encim" sebenarnya akulturasi bahasa
Hokkian untuk" Cici" atau kakak perempuan. Dan bahasa lokal betawi. Sehingga
kita mengenal ada kalimat betawi seperti "Engkong" yang berasal dari " Akung"
dalam bahasa mandarin untuk memanggil kakek. Pangilan "Encim" pada tempo dulu
adalah panggilan terhormat untuk memangil seseorang yang dituakan. Lain halnya
jaman sekarang Jika ada wanita paruh baya atau sudah menikah dari keturunan
tionghoa dipanggil "Encim" pasti marah, mengira penghinaan pada dirinya.
Padahal tempo dulu pangilan "Encim" adalah pangilan terhormat.

Sementara kebaya adalah pakaian adat jawa dan sumatra yang dikenakan oleh kaum

bangsawan wanita pada jaman dahulu. Pada era Penjajahan Belanda terutama
lingkungan Tionghoa peranakan, kaum wanita tionghoa peranakan 100% mengunakan
kebaya,
dalam kehidupan sehari - harinya. Kebaya encim sendiri mengalami penyebaran
sehinga setiap daerah mengalami perubahan corak, motif, sampai warna, Penyebaran
kebaya Encim dan sarung nyonya ini meliputi daerah Sumatra, Kalimatan, Jawa,
Bali Dan Khususnya Jakarta / Batavia.

Pada kalimat "Sarung nyonya" Adalah dari kalimat nyonya adalah kalimat wanita

yang paruh baya atau sudah menikah yang berasal dari Bahasa belanda. Pada
lingkungan tionghoa peranakan ada yang dikenal istilah "BABAH dan NYONYA".
Istilah ini sebenarnya tak hanya digunakan di Indonesia sendiri tetapi malaysia,
dan singapura, kalimat "BABAH dan NYONYA ",penjelasannya adalah untuk memanggil
kaum pria keturunan tionghoa dengan kalimat "BABAH" yang sudah menikah atau usia
paruh baya. "Nyonya" Pangilan Wanita pada jaman Belanda untuk pangilan wanita
bangsawan yang sudah menikah atau paruh baya.

 
"Sarung nyonya "itu sendiri dipakai pada bawahan wanita pada tempo dulu seperti
layaknya rok wanita jaman sekarang, pemakaian sarung sendiri bisa dipakai oleh
kaum wanita ataupun kaum pria, pengunaan sarung pada pria anda bisa lihat dalam
budaya Betawi dan Sunda khususnya sampai sekarang. Dalam lingkungan Masyarakat
tionghoa peranakan khususnya wanita bawahan pakaiannya mengunakan sarung, ini
dapat terlihat penyebarannya "Sarung Nyonya" di daerah Sumatra, jawa,
Bali,Jakarta dan Kalimatan.

Motif


Salah satu pengaruh kebudayaan Tionghoa peranakan yang paling menonjol dalam

karya seni Indonesia adalah seni batik, terutama yang dinamakan sebagai batik
pesisir. Dinamakan pesisir, karena kota-kota yang menghasilkan kain batik ini
seperti Indramyu, Cirebon, Pekalongan, Lasem dan Tuban terletak pada pesisir
utara pantai pulau Jawa. Dan orang Tionghoa yang datang ke pulau Jawa
pertama-tama dan sebagian besar tinggal di kota-kota pesisir ini dan telah
terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan lokal selama itu.

Berbeda dengan batik-batik dari pedalaman Jawa, atau disebut juga sebagai batik

"vorstenlanden" seperti batik Solo (Surakarta) dan Jogya yang berwarna "sogan"
sebagai unsur warna dominannya. Batik pesisir lebih ceria, berani menggunakan
warna, bermotif flora dan fauna atau binatang-binatang mitologi serta kaya akan
corak ragam hiasnya (motif).

Motif-motif binatang mitologi, folklor, dan simbol kebudayaan Tionghoa, seperti

burung hong (phoenix), liong (naga), kupu-kupu, kilin, banji (swastika atau
simbol kehidupan abadi), dll banyak menghiasi seni karya batik pesisir ini atau
yang disebut sebagai batik peranakan. Motif-motif atau corak ragam hias Tionghoa
ini banyak mendapatkan inspirasi dari motif benda keramik atau porselin (Ming
dan Ching) serta kain sutera Tiongkok .

Setiap kota memiliki corak ragam hias dan keunikan yang berbeda dan khusus,

seperti motif Mega-mendung, Peksi naga liman, Wadasan, dan Banji pada batik
Cirebon, motif batik Encim, Pagi-Sore, dan Sam Pek Eng Tay yang bermotifkan
kupu-kupu, sebagai lambang kesetiaan dan pernikahan bahagia pada batik
Pekalongan dan motif Tiga negeri, Bangbiru, Lok-Chan pada batik Lasem. Batik
Lasem adalah salah satu batik pesisir yang indah dan bernilai artistik, serta
digemari banyak orang, dalam dan luar negeri.

Pengaruh motif Tionghoa yang paling dominan adalah pada batik Lasem terutama

dengan motif Lok Chan, secara harafiah berarti sutera biru, mungkin karena untuk
pertama kalinya kain ini dibuat dari sutera, yang pada saat itu didatangkan dari
Tiongkok dan berwarna biru.(pengaruh dari keramik atau porselin Ming), tetapi
warna dominan dari batik Lasem adalah warna merah darah.

Pengaruh ragam hias Tionghoa yang dominan pada batik Lasem ini, disebabkan

karena jumlah penduduk Tionghoanya yang relatif banyak dan telah bermukim lama
di kota ini. Dalam sejarahnya, Lasem adalah salah satu kota pertama di pulau
Jawa yang didatangi dan dikunjungi oleh komunitas Tionghoa. Di Lasem masih
banyak bangunan-bangunan bergaya arsitektur tradisionil Tiongkok yang
dikelilingi oleh tembok tinggi. Sineas Remy Silado bahkan mengambil shooting
film "Ca Bau Kan" di Lasem sebagai salah satu lokasinya yang terpilh, karena
suasana komunitas Tionghoanya yang masih kental.

Batik peranakan dari Lasem ini sangat digemari dan populer pada masyarakat

Sumatra Barat dan digunakan sebagai syal oleh kaum prianya dalam upacara adat di
Sumatera Barat. Demikian juga di Bali, Lombok dan Sumbawa, batik Lok Chan ini
dipakai dalam upacara adat, pelengkap busana dan lambang atau status kedudukan
seseorang.

Batik-batik pesisir yang mempunyai nilai seni dan artistik ini banyak menghiasi

museum-musem dan kolektor pribadi di mancanegara. Fungsi batik peranakan pesisir
ini, bukan hanya digunakan sebagai busana, seperti kebaya saja atau upacara adat
saja, melainkan juga digunakan sebagai alas meja sembahyang atau disebut Tokwi
pada masyarakat Tionghoa peranakan.
Mungkin yang paling populer di kalangan masyarakat Tionghoa peranakan, adalah
batik Encim dari Pekalongan yang banyak dipakai oleh wanita-wanita Tionghoa
peranakan sebagai kebaya (kebaya Encim) pada waktu dahulu. Motif batik Encim
sebenarnya adalah batik yang dipengaruhi oleh campuran budaya Tionghoa dan
budaya Belanda (Eropah). Warnanya diinspirasikan oleh warna porselin "famille
rose" dan "famille verte" (porselin dari periode dinasti Ching) yang berwarna
pastel dadu (pink) dan biru, sedangkan motifnya dari Eropah, yaitu "buketan"
atau segenggam bunga (berasal dari kata bouquet).

Batik Encim ini adalah identitas utamanya wanita Tionghoa peranakan. Pada jaman

sekarang wanita Tionghoa peranakan hanpir jarang memakai kebaya Encim lagi,
kecuali pada acara-acara tertentu. Tetapi ini bukan berarti bahwa batik Encim
sudah dilupakan orang sama sekali. Beberapa fashion disainer muda berbakat telah
menemukan kembali warisan budaya batik Encim ini dan mendisain kembali bahan
batik Encim ini menjadi busana modern dengan interpretasi kontemporer.

Mungkin pria terkenal yang sering mengenakan busana batik adalah Gus Dur dan

Nelson Mandela dari Afrika Selatan, dan bahkan kadang-kadang presiden SBY juga
mengenakannya. Terakhir terlihat SBY mengenakan batik pesisir Cirebon dengan
motif Megamendung yang indah. Hal ini berbeda dengan anggauta-anggauta DPR-RI
kita yang sekarang lebih berbangga mengenakan busana modern Jas yang dibuat dari
bahan wol, daripada busana batik yang dibuat dari kain mori. Untuk wanita yang
terkenal yang menggunakan Batik encim dan Sarung Nyonya adalah menteri
Perdagangan ibu Maria Elka Pangestu.

================================================================================\

=======================

Pengaruh Budaya dan akulturasi budaya


Budaya campuran ini juga dapat kita lihat di Lasem, pemukiman Tionghoa yang

termasuk tertua di pantai utara Jawa. Di Daerah lasem Jawa tengah terdapat
banyak sekali produsen rumahan dan pengrajin batik dan kebaya,dari jaman
penjajahan sampai sekarang. Keberadaan mereka masih eksis sampai sekarang.
Banyak sekali pengrajin yang berasal dari suku jawa, suku tionghoa bekerja
bersama - sama untuk memproduksi kain batik dan kain kebaya. motif mereka
Gunakan sangat lah unik, pencampuran motif pakaian belanda, Tionghoa dan jawa.

Pada dasarnya Motif-Motif Kebaya Encim, Batik, dan Kain songket memiliki ciri

khas sendiri, Setiap goresan dan guratan kainnya, memiliki arti filosofi
sendiri, layaknya dalam budaya tionghoa, juga memiliki setiap simbol-simbol
guratan coretan kainnya memiliki makna tersendiri seperti persahabatan, kasih
sayang, Gagah perkasa, kewibawaan dan sebagainya, Setiap guratan simbol-simbol
kain memiliki ciri khas filosofi Jawa, Sumatra, dan juga Tionghoa.

Di Jawa, walau batik hampir semua berlatarkan warna cokelat, membedakan antara

batik Solo dan Jogya. mengenai batik Pekalongan, yang adalah busana wanita
Tionghoa (tepat, dengan kebaya putih).

kalau batik Pekalongan itu, bahannya lain dari batik Jawa, yakni sutra. batik

Pekalongan lebih menarik polanya, Kini, menikah dengan wanita Minahasa, bahwa
kebaya wanita Minahasa, adalah diambilkan dari kebaya wanita peranakan, yakni
putih. Demikian pula di Malukku. Ini terjadi, karena pembauran di Minahasa lebih
intensif daripada di Jawa. Ini kita lihat pula, dari makam tradisonal Minahasa
(dari masa pra Kristiani), yang dinamakan "Waruga", kebanyakan diisi dengan pot
pot dan bahan rumah tangga keramik Tionghoa.

Kebaya yang berasal dari minahasa ini anda dapat lihat juga di Malakka, terutama

di-gambar gambar di museum Baba-Nonya.

Meskipun sama-sama batik, sarung dan kebaya, bedanya kontras. Karena yang

memakai batik ini biasanya berbeda, batik corak putih ini yang dikenal batik
Nyonya, dan hanya dipakai oleh orang Tionghoa. Baju kebayanya biasanya berwarna
polos, kebanyakan putih, tapi ada yang berwarna muda, misalnya merah muda, hijau
muda dan sebagainya, tapi pasti polos, bagian bawahnya tidak rata, tapi panjang
di depan, jadi ujungnya agak lancip, biasanya diberi renda atau sulaman lain.

Kebaya berkembang ada, latar putih kembang biasanya biru, ini untuk orang tua,

nenek-nenek. Singapore mempunyai musium yang memamerkan budaya peranakan. Bahkan
tahun lalu ada pesta perkawinan peranakan yang disponsori biro turis dan
diadakan upacara besar di musium. Penonton banyak, terutama turis. Memang
tujuannya menarik turis.

Jangan lupa budaya di Tiongkok sendiri tiap daerah berbeda di Indonesia. Budaya

kita di Indonesia kebanyakan berasal dari budaya Hokkian dan Kheq yang dominan.
Orang Tio ciu , Hainan, Jasirah Leizhou, Taiwan adalah turunan imigran Hokkian
yang pindah ke sana. Orang Kheqpun terdapat di Taiwan, Hunan, Sichuan di
Tiongkok barat.

Cara pengunaan dan pemakaian


Kebaya Encim dipakai pada atasan baju wanita, dan Sarung Nyonya digunakan pada

bawahan wanita. Biasanya dapat ditambahkan aksesories lainnya seperti kain
songket, kain ini digunakan pada bahu wanita, Kain songket sendiri dapat
digunakan oleh pria, tergantung dari pola warnanya, Pakaian ini dahulu dipakai
dalam ruang lingkup sehari - hari, dan juga pada saat pesta. Lain halnya
sekarang Kebaya Encim dan Sarung Nyonya dipakai untuk Acara tertentu, seperti
pesta, Peresmian, Atau acara - acara Budaya, pada era sekarang Kebaya encim dan
sarung Nyonya mengalami perubahan drastis, sehingga motifnya sangat menarik dan
Indah digunakan pada acara penting.

Kesimpulan.

Kebaya encim dan sarung nyonya adalah aset nasional yang mesti dilestarikan,
kebaya Encim ini hampir punah dengan kemajuan zaman.
Banyaknya generasi muda sekarang, terutama generasi wanita Tionghoa Indonesia
sekarang baik tua ataupun muda, tidak mau memakai Kebaya Encim dan sarung Nyonya
ini, takut dipanggil "ENCIM". Sehingga penguna kebaya encim ini mulai jarang
terlihat
oleh masyarakat Indonesia. Janganlah Aset Budaya "Kebaya Encim dan Sarung
Nyonya" direbut oleh negara lain dan diklaim salah satu budaya nasional mereka,
barulah kita marah-marah, dan mulai berbondong - bondong memakainya karena takut
direbut negara lain, seperti kejadian batik diakui budaya NEgara Lain.
jangan ada lagi perebutan Aset budaya nasional kembali, mari kita lestarikan
"kebaya Encim" sebagai aset nasional negara Kita. Karena "Kebaya Encim dan
sarung Nyonya" tidak dapat ditemukan dinegara manapun selain Indonesia.

*tulisan ini serta merta mengalami perubahan sesuai dengan adanya data

pendukung"

Ucapan terima kasih kepada

NaraSumber dan Kontributor :

- Bpk David Kwa

Peneliti dan pengamat budaya Tionghoa Peranakan Indonesia.

- Ibu Hartati

Peneliti dan Pengamat Budaya Tionghoa.

- Prof. DR Hans Hwie Song

Pengamatan dan peneliti.

- Prof. Dr. Leo Suryadinata.

Peneliti dan pengamat Budaya Nasional

- Bapak RM. Danardono.

Peneliti dan pengamat Budaya Jawa

- BPk Ahmad Bukhtari saleh.

Peneleti dan pengamat budaya Nasional dan budaya tionghoa.

- Bapak liang U.


- Bapak King Hian.



- Segenap anggota Milis Budaya Tionghoa dan Tionghoa Net, yang telah memberikan

sumbangsih besar bagi
pelestarian Budaya yang telah memberikan sumbangsih penulisan ini, dan tak dapat
disebutkan namanya satu persatu.


- INTI (Ikatan Nasionalis Tionghoa Indonesia)


- PSMTI (Persatuan Sosial Marga Tionghoa Indonesia)


- Seluruh Organisasi masyarakat Tionghoa dan Tokoh - Tokoh masyarakat Indonesia

yang melakukan pelestarian Budaya.
Sumber : Yahoo group.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar