Minggu, 20 Maret 2011

SEJARAH KEBAYA DI INDONESIA




Kebaya: Ini IndonesiaApr 25, '07 12:26 AM
for everyone
Menurut Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: silang Budaya (1996) Kebaya berasal dari bahasa Arab ‘Kaba’ yang berarti ‘pakaian’ dan diperkenalkan lewat bahasa Portugis ketika mereka mendarat di Asia Tenggara. Kata Kebaya diartikan sebagai jenis pakaian (atasan/blouse) pertama yang 
dipakai wanita Indonesia pada kurun waktu abad ke-15 atau ke-16 Masehi. Argumen Lombard tentu berterima terutama lewat analogi penelusuran lingustik yang toh sampai sekarang kita masih mengenal ‘Abaya’ yang berarti tunik panjang khas Arab. Sementara sebagian yang lain percaya Kebaya ada kaitannya dengan pakaian tunik perempuan pada masa kekasiran Ming di Cina, dan pengaruh ini ditularkan setelah imigrasi besar-besaran menyambangi semenanjung Asia Selatan dan Tenggara di abad ke-13 hingga ke-16 Masehi.

Terlepas dari asal usulnya yang Arab, atau Portugis, atau Cina, kita mahfum bahwa penyebarannya memang dari arah utara kepulauan Indonesia. Artinya, negara-negara yang terlewati oleh ekspansi ala Arab, Portugis, dan Cina bisa jadi memiliki versi kebayanya masing-masing. Dan akhirnya, Jawa menjadi destinasi penyebaran paling selatan, karena tidak ditemukan jejaknya lagi di kepulauan Pasifik barat atau semenanjung utara Australia. Artinya lagi, kali ini, Malaysia bisa dengan bebas mengklaim Kebaya sebagai salah satu pusaka tradisinya. Tentu tanpa mengatakan kalau jenis pakaian ini asalnya dari Malaysia—karena itu terdengar sangat bodoh.


Dalam novel kuartet Gajah Mada, Langit Kresna Hariadi menulis: “Sri Gitarja menjawab sambil mengusap air mata menggunakan lengan baju”. (Gajah Mada Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara hal 336, paragraf ke-3, baris ke-5). Asumsinya, jika tuan putri Sri Gitarja dapat mengusap air matanya dengan lengan baju berarti lengan baju yang beliau pakai adalah lengan panjang hingga-minimal-mendekati pergelangan tangan. Kemungkinan terbesar adalah jenis pakaian wanita kebaya. Sayangnya, hal ini bisa saja keliru karena Kebaya masih menjadi benda asing di masa ini. Masyarakat Jawa kala itu lebih mengenal kain panjang, tenun, ikat dan kemben sebagai busana sehari-hari. Ada juga yang berpendapat bahwa, masa-masa ini Kebaya terbatas dikenakan di kalangan kerajaan saja. Sayangnya, bukti-buktinya sangat lemah. Kain yang berbahan serat alam di negeri tropis seperti Indonesia mudah sekali hancur hanya karena kelembaban, cuaca, hingga mikroorganisme pemakannya. Bukti yang juga tidak bisa dikatakan kuat adalah arca-arca dan relief yang dipahat di sebagian besar bangunan kuno abad ke-13 hingga 15. Namun, tidak ada pola atau gambaran nyata yang mengindikasikan adanya Kebaya di masa itu. 

Kita perlu menilik penyebaran dan masuknya Islam di Indonesia (abad ke-15) untuk mengetahui perkembangan kebaya modern saat ini. Keislaman sangat kuat memengaruhi siluet kebaya di awal-awal perkembangannya. Dugaan kuat mengatakan Kebaya awalnya merupakan atasan panjang berbentuk tunik sederhana yang menjulur dari leher hingga lutut (baju kurung). Hal ini mengingatkan kita akan abaya dan kebaya Melayu. Pakaian semacam ini serta-merta menggeser kemben tradisional. Di beberapa pelosok Indonesia bahkan bisa ditemukan wanita yang tampil tanpa atasan apapun (Bali, Lampung, Jawa). Kebiasaan berbusana macam itu juga ikut tergeser, meski dalam beberapa acara adat harus berbusana seperti itu lagi, terutama di Bali. Dokumentasi lama milik keluarga kerajaan dan keraton (Surakarta, Yogyakarta, Cirebon) di tanah Jawa masih merekam kebaya panjang ini dengan beberapa ornamen kenegaraan yang terpasang di beberapa sisinya (abad ke-19). Gelang dan jam dikenakan diluar lengan kebaya, sementara bros serangkai (tiga berjajar) tersemat di bagian depan membentuk suatu penutup. Jenis ini akhirnya merambah permainan bahan. Katun kasar dan tenun tradisional tentu saja menjadi cikal bakalnya. Namun beludru, sutra, dan katun halus kemudian menggantikan bahan-bahan keras tadi sesuai dengan masuknya koloni Eropa ke Indonesia dan membuka jalur perdagangan tekstil antar negara (sejak abad ke-18).

Kesesuaian selanjutnya bertitik tolak dari pola dan corak. Modifikasi, inovasi, dan kreatifitas membawa angin segar fesyen Kebaya masa ini. Ia bagaikan lepas tanpa ikatan. Putu baru, kebaya tunik pendek hingga tlisman mengemas banyak warna dan permainan motif yang cantik di awal abad ke-19. Kurun abad ke-19 dan masa pergerakan di awal abad 20 adalah kala gemilang bagi Kebaya. Kebaya berada di masa yang marak dikenakan masyarakat Indonesia, juga kaum pendatang Eropa dan Cina dengan ragam penyesuaiannya. Sebelum dikelas-kelaskan, Kebaya yang hampir merata dipakai oleh kaum perempuan Indonesia begitu lazimnya hingga kreasi-kreasi khusus dilakukan oleh kaum bangsawan dan dalam istana. Kebaya bangsawan dan keluarga Kraton terbuat dari sutra, beludru, dan kain tebal berornamen (brocade); golongan awam mengenakan bahan katun dan tenun kasar; kaum keturunan Eropa biasanya mengenakan kebaya berbahan katun halus dengan aksen lace (brokat) di pinggirnya; sedangkan untuk perempuan Belanda mengenakan kebaya katun dengan potongan yang lebih pendek. Saat itu bahkan banyak orang Eropa dan Belanda sendiri membeli aneka kebaya di Nederland. Masa ini Kebaya mulai disusupi unsur sinkretisme kelas. Ada Kebaya Keraton dan Bangsawan yang berornamen benang emas (sulam gim) dengan bahan beludru. Potongan khusus yang dipakai oleh perempuan kelas atas juga memberi bekas yang nyata seperti halnya kebaya Kartini. Pakem-pakem mulai terbentuk. Pola-pola tertentu dibatasi dalam garis darah biru. Kebaya mulai dikaplingkan dalam kelas-kelas kasta yang paradoksal.  

Nasionalisme merebak tahun 1920-an. Organisasi-organisasi tradisional Indonesia maupun bentukan pemerintahan Hindia Belanda menyerukan nasionalisme dengan lantang. Kondisi politik saat itu juga memengaruhi preferensi fesyen masyarakatnya. Kebaya yang terlanjur Nasional dianggap bercitra pribumi dengan segala perjuangannya. Wanita keturunan Eropa dan Belanda meninggalkan kebaya sebagai pakaian sehari-hari mereka karena citra tradisional yang indigenous tadi. Periode ini meminimasi perkembangan fesyen Kebaya. Hampir tidak ada inovasi material yang signifikan, apalagi bentukan dan pola siluetnya. Kondisi seperti ini berlangsung hingga dua dekade berikutnya sampai yang terburuk tiba.

Periode 1942-1945 adalah yang terburuk dengan catatan paling minim tentang keadaan Indonesia, termasuk fesyennya. Perempuan di masa pendudukan Jepang jatuh di tempat paling rendah sepanjang sejarah. Tanpa kecuali; pribumi, keturunan Eropa, keturunan Cina, dan Belanda dijebloskan di penjara dan dipekerjakan dengan keras. Kebaya dipakai oleh tahanan perempuan Indonesia, sedangkan kemeja dan terusan dikenakan oleh keturunan Eropa dan Belanda. Peraturan tidak tertulis ini, entah bagaimana, berlaku hampir di setiap kamp-kamp tahanan Jepang. Di sini, Kebaya bersifat pribumi, lainnya koloni. Jangan berfikir tentang inovasi, produksinyapun jatuh mengenaskan. Kenyataannya, pendudukan Jepang di Indonesia juga memutus jalur perdagangan tekstil dan perlengkapan penunjangnya. Banyak rumah produksi kebaya tutup. Perusahaan kain Batik yang marak di periode itu juga wajib membuat solusi padat karya untuk sekedar bertahan. Solusi yang paling banyak dianut adalah merger antar beberapa perusahaan kecil yang membuat kain batik, kebaya, dan industri konveksi rumahan. Tapi tidak berdampak banyak bagi perkembangan fesyen masa itu. Perubahan suhu politik terjadi tiap jam. Perang Dunia ke-II adalah masa-masa kelam bagi fesyen tanah air, bahkan dunia. Kecuali Chanel dan Hugo Boss yang memang kekasih fasis kala itu, banyak rumah mode di dunia mengalami kemunduran. 

Lagi-lagi faktor politik berkecamuk. Revolusi besar kemerdekaan Indonesia tahun 1945 membawa Kebaya pada konstelasi nasionalis yang lebih absolut. Dari sekedar tradisional yang pribumi, Kebaya menjalar menjadi nasionalis dan bernafas kemerdekaan. Para wanita terdidik yang dekat dengan pemerintahan Soekarno saat itu banyak mengenakan aneka kebaya, terutama jenis putu baru dan Kebaya encim yang masih ada jejaknya sekarang ini. Sebagian orang menanggapi kondisi ini sebagai masa-masa keemasan Kebaya sampai tahun 1960-an. Hampir semua wanita, baik itu di kantor, di rumah, di manapun tampil berkebaya. Citra nasional yang dibawa Kebaya begitu kuatnya, tetapi melekat pada kaum aristrokrat tertentu yang berpihak pada Soekarno. India, Cina, dan sebagian Asia Tenggara mendominasi pasar tekstil Indonesia. Sentimen Barat pada Soekarno, dan sentimen Soekarno sendiri pada Barat membatasi jalur pertukaran komoditi Eropa dan Indonesia. Yang terlihat adalah aneka corak dan warna-warna Kebaya yang beragam. Potongan dan pola-pola lama kembali meruak meski masih memegang pakem-pakem yang tercipta dari abad sebelumnya.

Belum pulih benar Kebaya dari trauma politiknya, ia harus mengalami sekali lagi pukulan itu. Peralihan kekuasaan dari tangan Soekarno ke pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto tahun 1965 menempatkan Kebaya di posisi lemah. Citra-citra dan simbol-simbol yang diemban Kebaya di masa Soekarno membuat ia dijauhi. Kaum perempuan yang merasa tidak terlibat dengan gejolak politik Orde Lama (Soekarno) memilih untuk tidak mengenakan Kebaya. Terusan modern dan kemeja-kemeja wanita lebih digemari ketimbang Kebaya. Perlahan namun pasti, Kebaya tersingkir dalam kotak eksklusif Dharmawanita (organisasi wanita istri pegawai negeri yang terbentuk sejak tahun 1974). Dengan warna jingga salem-nya, Kebaya menjadi seragam resmi organisasi ini.

Hingga tahun 1980-an Kebaya semakin terkucil di kalangan istri Militer dan pegawai negeri, meski beberapa desainer lokal macam Iwan Tirta mencoba melestarikannya. Kabar baiknya adalah peran informasi dan pertukaran komoditi antar negara kembali terbuka lebar. Tinggal bagaimana tangan-tangan kreatif anak Bangsa memanfaatkannya. Tidak memakan waktu lama, awal tahun 90-an Ghea Panggabean melakukan eksperimen berarti pada Kebaya. Dalam lingkup kelas atas, Ia memanfaatkan bahan sutra organdi dan serat-serat alam lain yang tergolong mewah menjadi Kebaya. Di kalangan elit dan perempuan berpendidikan, Kebaya macam ini, yang kemudian banyak juga dikembangkan oleh desainer lokal lain, memiliki predikat khusus. Ia sah digunakan di acara-acara formal baik bersifat pribadi, keluarga, maupun kenegaraan.

Tahun 90-an pula Kebaya mulai mendapat tempat yang lebih luas. Bahkan dipandang mempunyai janji ekonomi yang besar. Desainer-desainer Indonesia sepakat, Kebaya adalah genre khas dari dunia fesyen yang menjanjikan. Mereka mulai meliriknya, memelajarinya, dan kemudian berkreasi dengannya. Kuncinya adalah inovasi! Sepertinya tuntutan kreasi dan aksentuasi dari para pemakai juga menjadi faktor besar yang mendorong Kebaya kembali ke era abad-19—masa dimana Kebaya punya kebebasan untuk berkembang.

Setelah 32 Tahun memerintah Indonesia, Soeharto undur. Reformasi membawa angin segar sekaligus liar. Untuk beberapa alasan, hal ini baik. Banyak pranata yang dijungkirbalikan. Reformasi dipahami sebagai era kebebasan. Keterbukaan pikiran menjadi titik tolak semua kegiatan di masa-masa 1997-2002. Kreatifitas tak terbendung yang dicontohkan oleh para pemimpin setelah Soeharto dan dunia politik juga diikuti masyarakatnya. Kekangan adalah barang haram di masa ini. Digalilah kreasi-krasi baru yang segar dari banyak sumber untuk mempercantik Kebaya. Kita harus mencermati trend brokat (lace), bordir, teknik aplikasi, drapery, dan pencampuran bahan sebagai cikal bakal revolusi Kebaya di tahun 2000-an.

Yang tandang dengan banyak ide, dia yang menang. Dunia pernikahan, pertemuan formal kenegaraan, hingga acara-acara eksklusif yang mengusung citra Indonesia secara konsensus-tersembunyi mewajibkan Kebaya sebagai kode busananya. Hal ini kemudian memancing kompetisi antar desainer. Secara pola, siluet, cutting, dan garis luar berubah beragam-ragam. Bagai bola liar, perubahan besar itu juga diikuti dengan pemanfaatan bahan baku. Keluar dari sekedarorganza dan katun, Kebaya merambah ke jalur sutra, sifonshantung, lace, hingga serat-serat yang tak terbayangkan sebelumnya seperti jute, nanas, pisang, dan unsur metal. Teknik bordir, renda, pilin, lipit, layer hingga quilt ikut mewarnai kemegahan Kebaya. Hingga akhirnya pemanfaatan material mewah macam payet, kristal, batu-batu mulia dan bulu binatang (ostrich’s feathers/cincila fur) hadir bersama taknik aplikasi yang revolusioner. Dengan teknik yang satu ini, kreasi tanpa batas sangat mungkin dikerjakan. Teknik aplikasi membuka kesempatan Kebaya sebagai benda seni yang bisa dihiasi apa saja—bahkan berlian jika memungkinkan. Lewat banyak teknik dan potongan, material dan bahan, sampai aksesorisnya, Kebaya tercipta sebagai karya seni. Bahkan ada satu Kebaya yang memiliki berat hingga 22 Kg, karena kerumitan detail yang melekat padanya. Kebaya memasuki masa revolusinya sendiri. Ia kini, seperti banyak masyarakat Indonesia era 2000-an, punya daya pandang dan tempatnya masing-masing. Tanpa harus terpengaruh imbas politik, ekonomi, bahkan adat istiadat. Kebaya semata-mata menganut faham kreatifitas yang feminis.

Lahirnya Kebaya-kebaya karya Anne Avantie, Marga Alam, Adjie Notonegoro, Biyan Wanaatmadja, Sebastian gunawan hingga perancang-perancang muda seperti Priyo Oktaviano, Rusly Tjohnardi, Ferry Sunarto dan banyak lagi adalah bukti revolusi Kebaya itu. Kebaya karya desainer-desainer tadi menghujam kuat di kancah lokal dan menghentak khasanah internasional. Pagelaran-pagelaran fesyen Kebaya, persaingan, kritik dan pujian-pujian memberi dampak yang sangat membangun. Aksi tutup mata atas pakem tradisional yang dihembus-hembuskan beberapa orang membuat karya Kebaya meroket ke arah yang sama sekali tak terduga. Ia kini lebih dari sekedar identitas, Kebaya juga sebuah komoditi dan jati diri bangsa Indonesia. Kebaya Indonesia muncul lewat siluet ultra feminin. Ia memeluk tubuh wanita, membuatnya bersinar, dan melekuk sempurna. Tidak dan belum bisa ditemukan di tempat lain, bahkan tempat-tempat yang dipercayai sebagai cikal bakal Kebaya tersebut menulari Indonesia. Mungkin, Kebaya akan segera memasuki kosa-kata Inggris seperti Batik dan Ikat. Kalau sudah begitu, tidak ada yang bisa menggoyahkan posisi Kebaya di Indonesia. Kebaya mencapai kemuliaan seni yang tertinggi di negeri Ini.

Dari sini, kita mesti sadar, ada ancaman yang harus kita hadapi dengan serius. Jika Kebaya telah memasuki titik puncak kejayaannya, apakah nasibnya akan seperti Batik yang masuk puncak jaya di tahun 1940-an, di Jawa? Batik Jawa Hokokai yang dikenal sebagai Batik paling mulia di dunia (Iwan Tirta) menjadi titik kulminasi kain ini. Sekarang, Batik masuk masa-masa mati suri. Kreasi yang dipersembahkan desainernya tidak pernah melampaui keindahan kreasi pendahulunya. Tiga negeri, Lasem, Jawa Hokokai, dan Pesisiran menempati peringkat seni yang tak terbantahkan—sekaligus tak terulangi lagi. Pertanyaannya, apakah Kebaya nantinya juga bernasib sama?        


Terimakasih kepadaIwan Tirta, Anne Avantie, Joop Ave, Victoria Cattoni, Roesly Tjohnardi, Marga Alam, Ferry Sunarto, Ida Munthe, Koesbiyanthi Indrastoeti, Yuko Tanaka, Rens Heringa, Pia Alisjahbana, Ir. TT. Soerjanto, Dr. Mariah Waworuntu, Lusiana Limono, Dra. Ratna Panggabean, Komunitas Wastraprema, Yayasan Batik Indonesia… 

PhotoHypnosisModelNayla AlatasKebayaMarga Alam, Anne Avantie, Ferry Sunarto, Ida Munthe (Wangie)Kain:Marga Alam, Anne Avantie, Ida Munthe (Wangie), Gandrasta BangkoAksesorisRinaldy A. Yunardi, Anne Avantie, Marga Alam, Ferry SunartoLokasiLara Djonggrang 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar